Hubungan Antara Kejahatan Peredaran Gelap Narkoba Dan Tindak Pidana Pencucian Uang

Oleh: Dr. Yunus Husein, S. H., LL. M


Pendahuluan
Dalam International Narcotics Control Strategy Report (INCSR) yang dikeluarkan oleh Bureau for International Narcotics and Law Enforcement Affairs, United States Department of State pada bulan Maret 2003, Indonesia ditempatkan kembali ke dalam deretan major laundering countries di wilayah Asia Pacific bersama dengan 53 negara antara lain seperti Australia, Kanada, Cina, Cina Taipei, Hong Kong, India, Jepang, Macau Cina, Myanmar, Nauru, Pakistan, Filipina, Singapura, Thailand, United Kingdom dan Amerika Serikat. Predikat major laundering countries diberikan kepada negara-negara yang lembaga dan sistem keuangannya dinilai terkontaminasi bisnis narkotika internasional yang ditengarai melibatkan uang dalam jumlah yang sangat besar.

Lebih jauh, INCSR menyoroti pula beberapa hal yaitu upaya Indonesia dalam memberantas peredaran gelap narkoba yang dianggap masih belum memadai, kenaikan angka penyalahgunaan narkoba di dalam negeri, serta maraknya lalu lintas perdagangan gelap narkoba dari dan ke Indonesia yang melibatkan negara-negara seperti Thailand, Burma, Singapura, Afghanistan, Pakistan dan Nigeria.

Kejahatan peredaran gelap narkoba sejak lama diyakini memiliki kaitan erat dengan proses pencucian uang. Sejarah perkembangan typology pencucian uang menunjukkan bahwa perdagangan obat bius merupakan sumber yang paling dominan dan kejahatan asal (predicate crime) yang utama yang melahirkan kejahatan pencucian uang. Organized crime selalu menggunakan metode pencucian uang ini untuk menyembunyikan, menyamarkan atau mengaburkan hasil bisnis haram itu agar nampak seolah-olah merupakan hasil dari kegiatan yang sah. Selanjutnya, uang hasil jual beli narkoba yang telah dicuci itu digunakan lagi untuk melakukan kejahatan serupa atau mengembangkan kejahatan-kejahatan baru.

Perkembangan peredaran obat bius di beberapa negara bahkan telah mencapai titik nadir. Gerard Wyrsch (1990) mengungkapkan bahwa pencucian uang yang berasal dari bisnis narkotika di Amerika Serikat diperkirakan mencapai 100 sampai dengan 300 milyar dollar pertahunnya. Sedangkan di Eropa berkisar antara 300 sampai 500 milyar dollar pertahunnya, suatu angka yang fantastis. FATF (Financial Action Task Force on Money Laundering) dalam annual report tahun 1995-1996 memperkirakan bahwa dari 600 milyar sampai satu trilyun dollar uang yang dicuci pertahunnya, sebagian besar berasal dari bisnis haram perdagangan gelap narkoba. Perkiraan jumlah di atas setiap tahun mengalami peningkatan sehingga dikenal istilah narco dollar, sekaligus menunjukkan bahwa persoalan peredaran gelap narkoba merupakan kejahatan internasional (international crime) dan persoalan seluruh negara.

Sejarah mencatat pula bahwa kelahiran rezim hukum internasional yang memerangi kejahatan pencucian uang dimulai pada saat masyarakat internasional merasa frustrasi dengan upaya memberantas kejahatan perdagangan gelap narkoba. Pada saat itu, rezim anti pencucian uang dianggap sebagai paradigma baru dalam memberantas kejahatan yang tidak lagi difokuskan pada upaya menangkap pelakunya, melainkan lebih diarahkan pada penyitaan dan perampasan harta kekayaan yang dihasilkan. Logika dari memfokuskan pada hasil kejahatannya adalah bahwa motivasi pelaku kejahatan akan menjadi hilang apabila pelaku dihalang-halangi untuk menikmati hasil kejahatannya.

Melihat korelasi yang erat antara kejahatan peredaran gelap narkoba sebagai predicate crime dan kejahatan pencucian uang sebagai derivative-nya, maka sangat jelas bahwa keberhasilan perang melawan kejahatan peredaran gelap narkoba di suatu negara sangat ditentukan oleh efektivitas rezim anti pencucian uang di negara itu. Dalam konteks Indonesia, hal menarik yang menjadi pertanyaan adalah apakah rezim anti pencucian uang Indonesia sudah cukup memadai untuk mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan peredaran gelap narkoba di tanah air ?

Terlebih apabila kita ketahui bahwa sejak ditetapkan pada tanggal 17 April tahun lalu, Undang-undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang banyak mendapat sorotan dari berbagai pihak dalam dan luar negeri serta direkomendasikan untuk segera dilakukan amandemen. Makalah ini akan mendiskusikan lebih jauh hubungan antara kejahatan peredaran gelap narkoba dan tindak pidana pencucian uang serta issue-issue yang terkait dengan efektivitas rezim anti pencucian uang di Indonesia.

Rezim Hukum Internasional Anti Pencucian Uang
Kejahatan pencucian uang telah dikenal di Amerika Serikat sejak tahun 1930. Pada saat itu, Al Capone yang menguasai bisnis haram perdagangan obat bius, perdagangan gelap minuman keras, prostitusi dan perjudian merupakan penjahat terbesar yang tidak saja dikenal di Amerika Serikat, tetapi juga di dunia karena memiliki jaringan di banyak negara. Pada saat itu masyarakat internasional belum memiliki perangkat hukum internasional yang dapat dijadikan dasar yang kuat untuk memerangi kejahatan pencucian uang.

Lahirnya rezim hukum internasional untuk memerangi kejahatan pencucian uang, antara lain dengan dikeluarkannya United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic drugs and Psychotropic Substances 1988 (Vienna Convention 1988). Lahirnya konvensi ini ditandai saat mana masyarakat internasional merasa frustrasi dalam memberantas kejahatan perdagangan gelap obat bius. Hal ini dapat dimengerti mengingat obyek yang diperangi adalah organized crime yang memiliki karakteristik organisasi struktural yang solid dengan pembagian wewenang yang jelas, sumber pendanaan yang sangat kuat dan memiliki jaringan kerja yang melintasi batas negara. Rezim hukum internasional anti pencucian uang dapat dikatakan merupakan langkah maju ke depan dengan strategi yang tidak lagi difokuskan pada kejahatan obat biusnya dan menangkap pelakunya, tetapi diarahkan pada upaya memberangus hasil kejahatannya melalui regulasi anti pencucian uang. Andrew Haynes (1993) mengatakan bahwa alasan sederhana dari paradigma baru ini adalah bahwa menghilangkan nafsu dan motivasi pelaku kejahatan untuk melakukan kejahatan, dapat dilakukan dengan menghalanginya untuk menikmati hasil atau buah dari kejahatannya.

Dengan demikian, lahirnya United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic drugs and Psychotropic Substances 1988 (Vienna Convention 1988), dipandang sebagai tonggak sejarah dan titik puncak dari perhatian masyarakat internasional untuk menetapkan Rezim Hukum Internasional Anti Pencucian Uang. Pada pokoknya, rejim ini dibentuk untuk memerangi drug trafficking dan mendorong agar semua negara yang telah meratifikasi segera melakukan kriminalisasi atas kegiatan pencucian uang. Disamping itu Vienna Convention 1988 juga berupaya untuk mengatur infrastruktur yang mencakup persoalan hubungan internasional, penetapan norma-norma, peraturan dan prosedur yang disepakati dalam rangka mengatur ketentuan anti pencucian uang.

Sebelum Vienna Convention 1988, berbagai instrumen telah dikeluarkan sejak tahun 1912. Upaya internasional diawali dengan dengan disahkannya International Opium Convention of 1912. Pada saat itu perhatian masyarakat ditujukan kepada upaya memerangi peredaran dan penggunaan opium di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat. Langkah internasional ini kemudian dilanjutkan dengan dikeluarkannya berbagai instrumen internasional yaitu Suppression of the Manufacture of, Internal Trade in and use of, prepared Opium, Geneva 11 February 1925 dan International Opium Convention 19 February 1925, yang keduanya diselenggarakan oleh Liga Bangsa Bangsa. Oleh karena dirasakan belum optimal utuk memberantas opium maka dilanjutkan dengan berbagai konvensi yaitu Convention of 1931 Suppression of Smoking, dan Convention for the Suppress of the Illicit Traffic in Dangerous Drugs of 1946.

Suatu konvensi yang dikenal dengan Single Convention Narcotics Drugs 1961 dikeluarkan pada tahun 1961. Konvensi ini dianggap paling bersifat universal dalam pengawasan obat bius yang meliputi perjanjian multilateral dengan sejumlah besar negara-negara anggota PBB. Konvensi 1961 mengamanatkan pula pembentukan The International Narcotic Control Board yang bertugas membatasi kegiatan produksi, distribusi, manufaktur dan penggunaan obat bius kecuali untuk keperluan di bidang pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Selanjutnya upaya masyarakat internasional juga dilakukan dengan mengeluarkan Convention on Psychotropics and Substances of 1971 yang menitikberatkan pada sistem kontrol yang lebih ketat terhadap perdagangan obat-obat kimia dan farmasi.

United Nations Conventions Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances tahun 1988 merupakan titik puncak untuk pemberantasan pencucian uang dari kejahatan peredaran gelap narkotika dan psikotropika. Konvensi ini mewajibkan setiap negara yang telah meratifikasi untuk melakukan kriminalisasi pencucian uang melalui peraturan perundang-undangan. Beberapa ketentuan penting dalam konvensi tersebut yaitu Pasal 3 (1) (a) yang mengharuskan setiap negara anggota melakukan kriminalisasi pencucian uang yang berkaitan dengan peredaran gelap obat-obat bius, selain itu mengatur ketentuan-ketentuan mengenai daftar pelanggaran yang berkaitan dengan industri, distribusi atau penjualan gelap dari obat bius dan organisasi serta pengelolaannya, atau keuangan dari aktivitas perdagangan gelap obat bius.

Hal terpenting dalam konvensi tersebut adalah substansi yang mengokohkan terbentuknya International Anti Money Laundering Legal Regime, yang merupakan salah satu upaya internasional untuk menetapkan rezim hukum internasional baru dalam badan internasional. Rezim ini pada dasarnya bertujuan memberantas pencucian uang dengan strategi untuk memerangi hasil kejahatan (proceed of crime). Disamping itu rezim hukum internasional anti pencucian uang ini menentukan pula arah kebijakan untuk melakukan kriminalisasi pencucian uang dengan standar-standar tertentu yang tetap memberi tempat untuk kedaulatan hukum masing-masing negara (state souvereignity).

Sebagai sebuah produk hukum internasioanl, konvensi ini dinilai sangat penting karena memperkuat konvensi-konvensi tunggal narkotika atau Single Convention on Narcotic Drugs, 1961 dan Convention on Psychotropic Substances, 1971. Berbeda dengan kedua konvensi di atas, Vienna Convention 1988 merupakan konvensi yang mengatur penegakan hukum (law enforcement) di dalam mencegah dan memberantas lalu lintas perdagangan gelap narkotika dan bahan psikotropika, yang secara khusus mengatur masalah : 1) penegasan dan perluasan lingkup kendali yang dititikberatkan pada illicit-trafficking by sea, 2) penegasan mengenai yurisdiksi yang diperluas, 3) ekstradisi, 4) penyitaan atau confiscation, dan 5) hubungan timbal balik atau mutual legal assistance.

Upaya Indonesia Memerangi Kejahatan Peredaran Gelap Narkoba
Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai focal point pencegahan dan pemberantasan narkotika di Indonesia yang dibentuk dengan Keputusan Presiden No. 17 Tahun 2002 tanggal 22 Maret 2002, menyatakan bahwa masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat, dan bahkan telah sampai pada batas yang mengkhawatirkan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Kepala BNN dalam makalah “Permasalahan Narkoba di Indonesia dan Penanggulangannya (2003)” lebih jauh menyampaikan pula bahwa Indonesia saat ini bukan hanya sebagai tempat transit dalam perdagangan dan peredaran gelap narkoba, tetapi telah menjadi tempat pemasaran dan bahkan telah menjadi tempat produksi narkoba. Data tersangka dan kasus dari tindak pidana ini sejak tahun 1998 hingga bulan Maret 2003 mencatat kenaikan sebagai berikut : 1) Tahun 1998 total kasus 999 dengan jumlah tersangka 1308, 2) Tahun 1999 sebanyak 1833 kasus dan 2590 tersangka, 3) Tahun 2000 sebanyak 3478 kasus dan 4955 tersangka, 4) Tahun 2001 sebanyak 3617 kasus dan 4924 tersangka, 5) Tahun 2002 sebanyak 3751 kasus dan 5310 tersangka, dan 6) Tahun 2003 (sampai dengan Maret) sebanyak 783 kasus dan 1098 (tersangka).

Mencermati data-data tersebut, tidak mengherankan apabila United Nations Drugs Control Programme (UNDCP) memberi gambaran masalah narkotika di Indonesia dengan warna kuning, sedangkan masalah psikotropika digambarkan dengan warna merah. Makna dari warna kuning adalah suatu negara berada pada peringkat kedua, sedangkan warna merah mengandung makna peringkat pertama atau telah mencapai kondisi yang sangat serius.
Namun demikian, Indonesia merupakan negara peserta dan penandatangan Single Convention on Narcotics Drugs 1961 dan Vienna Convention 1988. Keikutsertaan Indonesia dalam konvensi-konvensi di atas sangat bermanfaat untuk menunjukkan kepada masyarakat dalam dan luar negeri adanya “political will” yang kuat dari Pemerintah Indonesia dalam memerangi kejahatan peredaran gelap narkoba.

Meskipun Indonesia telah memiliki produk hukum pertama yang mempidanakan penyalahgunaan narkotika pada tahun 1976 dengan disahkannya Undang-undang No. 9 Tahun 1976, Undang-undang tersebut belum melakukan kriminalisasi atas perbuatan menyembunyikan, mengaburkan dan menyamarkan hasil kejahatan peredaran gelap narkoba. Dengan demikian, Undang-undang No. 7 Tahun 1976 maupun Undang-undang No. 22 Tahun 1997 yang merupakan produk hukum terakhir belum merespons issue-issue internasional sebagaimana dimuat dalam Vienna Convention 1988.

Padahal perputaran uang dari bisnis haram ini di Indonesia tercatat sangat mencegangkan. BNN menyampaikan bahwa jumlah uang yang terlibat dalam peredaran gelap narkoba mencapai Rp 300 triliun per tahun, suatu angka yang fantastis, terutama apabila dibandingkan dengan APBN kita yang hanya berjumlah sekitar sebesar Rp 315 triliun setahun. Namun, angka tersebut sesungguhnya tidak terlalu mengherankan apabila kita melihat bahwa pangsa pasar bisnis haram narkoba saat ini sudah merambah kepada para pemakai muda di tingkat pendidikan sekolah dasar. Data Polda Metro Jaya, mengungkapkan bahwa dalam lima bulan terakhir, antara Januari sampai Mei 2003, di Jakarta Utara sudah ditangkap 30 pelajar SD yang menggunakan obat-obatan berbahaya itu (Kompas, 13/5).

Melihat fakta permasalahan yang sangat kompleks, nampaknya tak ada pilihan lain bagi kita untuk terus meningkatkan upaya nasional memerangi kejahatan ini baik secara komprehensif dan multidimensional dengan antara lain melakukan penegakan hukum secara tegas, konsisten dan sungguh-sungguh, serta meningkatkan kegiatan preventif untuk mengungkap dan memutus jaringan sindikat peredaran gelap narkoba baik nasional dan internasional.

Kejahatan Peredaran Gelap Narkoba dan Rezim Anti Pencucian Uang di Indonesia
Sebagaimana telah diuraikan pada bagian awal tulisan ini, kejahatan peredaran gelap narkotika adalah sumber uang haram yang paling dominan dan merupakan kejahatan asal (predicate crime) yang utama. Selanjutnya, dinyatakan pula bahwa rezim anti pencucian uang yang efektif sangat berpengaruh terhadap upaya memerangi kejahatan peredaran gelap narkoba dengan cara menghambat masuknya uang kotor atau hasil bisnis haram itu ke dalam sistem keuangan. Disamping itu, rezim anti pencucian uang juga berfungsi mencegah sistem keuangan dijadikan sasaran dan sarana kejahatan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa rezim anti pencucian uang menjalankan fungsi ganda yaitu penegakan ketentuan anti pencucian uang yang sekaligus untuk menjaga integritas sistem keuangan, serta mencegah berkembangnya kejahatan asal (predicate crime).
Namun demikian, setidaknya ada beberapa alasan yang dapat menjadi pendorong maraknya kejahatan pencucian uang di Indonesia yang memerlukan perhatian bersama, sebagai berikut :

  1. Rezim devisa bebas yang memungkinkan siapa saja memiliki devisa, menggunakannya untuk kegiatan apa saja dan tidak ada kewajiban untuk menyerahkannya kepada Bank Indonesia.
  2. Lemahnya penegakan hukum dan kurangnya profesionalitas aparat penegak hukum.
  3. Globalisasi terutama perkembangan global di sektor jasa keuangan sebagai hasil proses liberalisasi telah memungkinkan pelaku kejahatan memasuki pasar keuangan yang terbuka.
  4. Kemajuan teknologi di bidang informasi terutama penggunaan media internet memungkinkan kejahatan terorganisir (organized crime) yang dilakukan oleh organisasi kejahatan lintas batas (transnational organized crime) menjadi mudah dilakukan.
  5. Ketentuan Rahasia Bank yang kerap dianggap masih diterapkan secara ketat meskipun Undang-undang Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang telah mengeliminir ketentuan tersebut.
  6. Masih dimungkinkannya menggunakan nama samaran atau tanpa nama (anonim) oleh nasabah bank, yang banyak dipengaruhi oleh lemahnya penerapan KYC oleh industri jasa keuangan.
  7. Dimungkinkannya praktik money laundering dilakukan dengan cara yang disebut layering (pelapisan) yang menyulitkan pendeteksian kegiatan money laundering oleh penegak hukum. Dalam hal ini, uang yang telah ditempatkan pada sebuah bank dipindahkan ke bank lain, baik bank yang ada di negara tersebut maupun di negara lain. Pemindahan itu dilakukan beberapa kali, sehingga tidak lagi dapat dilacak oleh penegak hukum.
  8. Ketentuan hukum berkenaan dengan kerahasiaan hubungan antara lawyer dan kliennya, dan antara akuntan dan kliennya.

Nampaknya kita semua sepakat bahwa kejahatan peredaran gelap narkoba dan kejahatan pencucian uang perlu diberantas hingga akar-akarnya tanpa pandang bulu. Ada beberapa alasan mengapa hal itu perlu dilakukan oleh Indonesia, sebagai berikut :

  1. Merongrong integritas pasar-pasar keuangan karena lembaga-lembaga keuangan (financial institutions) yang mengandalkan dana hasil kejahatan dapat menghadapi bahaya likuiditas.
  2. Mengganggu sektor swasta yang sah dengan sering menggunakan perusahaan-perusahaan (front companies) untuk mencampur uang haram dengan uang sah, dengan maksud untuk menyembunyikan uang hasil kegiatan kejahatannya. Perusahaan-perusahaan (front companies) tersebut memiliki akses kepada dana-dana haram yang besar jumlahnya, yang memungkinkan mereka mensubsidi barang-barang dan jasa-jasa yang dijual oleh perusahaan-perusahaan tersebut agar dapat dijual jauh di bawah harga pasar.
  3. Mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonomi. Contoh di beberapa negara dengan pasar yang baru tumbuh (emerging market countries), dana haram tersebut dapat mengurangi anggaran pemerintah, sehingga dapat mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonominya.
  4. Timbulnya distorsi dan ketidakstabilan ekonomi karena para pencuci uang tidak tertarik untuk memperoleh keuntungan dari investasi tetapi lebih mengutamakan keuntungan dalam jangka waktu cepat dari kegiatan-kegiatan yang secara ekonomis tidak bermanfaat kepada negara.
  5. Hilangnya pendapatan negara dari sumber pembayaran pajak karena pencucian uang menghilangkan pendapatan pajak pemerintah dan dengan demikian secara tidak langsung merugikan para pembayar pajak yang jujur. Hal itu juga mengakibatkan pengumpulan pajak oleh pemerintah makin sulit.
  6. Membahayakan upaya-upaya privatisasi perusahaan-perusahaan negara yang dilakukan oleh pemerintah dan sekaligus mengancam upaya-upaya dari negara-negara yang sedang melakukan reformasi ekonomi melalui upaya privatisasi. Organisasi-organisasi kejahatan tersebut dengan dananya itu mampu membeli saham-saham perusahaan-perusahaan negara yang diprivatisasi dengan harga yang jauh lebih tinggi daripada calon-calon pembeli yang lain.
  7. Rusaknya reputasi negara yang akan berdampak pada kepercayaan pasar karena kegiatan-kegiatan pencucian uang dan kejahatan-kejahatan di bidang keuangan (financial crimes) yang dilakukan oleh negara bersangkutan.
  8. Menimbulkan biaya sosial yang tinggi (Social Cost) karena pencucian uang adalah proses yang penting bagi organisasi-organisasi untuk dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan kejahatan mereka. Pencucian uang memungkinkan para penjual dan pengedar narkoba (drug traffickers), para penyelundup, dan penjahat-penjahat lainnya untuk memperluas kegiatannya.

Kita mengetahui bahwa pada tanggal 9 Juni 2003 lalu Pemerintah telah menyampaikan draft amandemen Undang-undang No. 15 Tahun 2002 kepada DPR. Oleh karena itu, apakah rezim anti pencucian uang Indonesia saat ini mampu mendukung upaya memerangi kejahatan peredaran gelap narkoba? Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu perlu dijelaskan bahwa pokok-pokok amandemen antara lain memuat beberapa hal yaitu 1) penghapusan batasan jumlah uang Rp 500 juta dalam definisi hasil kejahatan (Pasal 2). Penghapusan threshold ini akan menjadikan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang menjadi efektif. 2) perubahan definisi transaksi keuangan mencurigakan dengan menambahkan elemen “termasuk menggunakan harta kekayaan hasil kejahatan”. Dengan perubahan ini maka hasil kejahatan peredaran gelap narkoba secara tegas dapat masuk menjadi transaksi keuangan mencurigakan., 3) pengurangan batas waktu penyampaian laporan transaksi keuangan mencurigakan menjadi 3 hari (semula 14 hari), sehingga penyedia jasa keuangan memiliki kewajiban lebih cepat untuk melaporkannya kepada PPATK., 4) pengaturan anti tipping-off provision yaitu larangan untuk memberitahukan laporan transaksi keuangan mencurigakan yang sedang disusun atau dilaporkan kepada PPATK atau aparat berwenang.

Catatan : Draf amandemen yang diajukan pemerintah sudah disyahkan oleh Rapat Paripurna DPR-RI yang dilaksanakan pada Hari Selasa, 16 September 2003.
Amandemen Undang-undang ini memuat beberapa hal yang dapat mendukung upaya memerangi kejahatan peredaran gelap narkoba, yaitu :
1. Pasal 1 yang mengatur ruang lingkup subjek tindak pidana yaitu orang perseorangan atau korporasi, sehingga bentuk-bentuk organisasi kejahatan yang kerap menjadi pelaku peredaran gelap narkoba dapat pula tercover dengan Undang-undang ini;
2. Harta kekayaan yang berasal dari kejahatan asal (predicate crime) narkotika dan psikotropika (Pasal 2);
3. Ancaman pidana bagi percobaan, perbantuan dan permufakatan jahat.
4. Pertanggungjawaban pidana bagi korporasi dengan pemberatan pada ancaman maksimum ditambah 1/3;
5. Eliminasi ketentuan rahasia bank, sehingga penyidik, penuntut maupun hakim yang memeriksa perkara dapat langsung meminta keterangan nasabah dan simpanannya dari penyedia jasa keuangan. (Contoh kasus pabrik ecstasy di Tangerang milik Ang Kiem Soei, dengan bukti MDMA cair 120 liter, MDMA powder 500 kg, tablet xtc 8200 butir, dengan kemampuan produksi 150.000 butir sehari) ;
6. Perintah penyitaan oleh hakim atas hasil bisnis narkoba apabila ditemukan bukti permulaan yang cukup dalam persidangan (Pasal 34);
7. Pemeriksaan in absentia di muka persidangan dalam hal terdakwa tidak hadir di persidangan (Pasal 36);
8. Pembuktian terbalik sehingga pelaku kejahatanlah yang harus membuktikan bahwa harta kekayaan bukan hasil bisnis haram narkoba (Pasal 35);
9. Penetapan hakim untuk menyita, merampas harta pelaku kejahatan dalam terdakwa meninggal namun telah terdapat bukti yang kuat (Pasal 37);
10. Kerjasama internasional yang memungkinkan proses ekstradisi dan repatriasi assets hasil kejahatan peredaran gelap narkoba dikembalikan ke tanah air dalam hal berada di LN (Pasal 44).

Perlu diinformasikan pula bahwa hingga saat ini UKIP Bank Indonesia yang sementara waktu berdasarkan Pasal 45 ayat (3) Undang-undang menjalankan tugas PPATK terkait penyedia jasa perbankan, telah menerima 236 transaksi keuangan mencurigakan dari bank, dan telah menyerahkan 36 laporan diantaranya kepada Kepolisian.
Penutup

Salah satu hal terpenting dalam menentukan berjalannya rezim anti pencucian yang efektif adalah kerjasama segenap pihak yang terkait yang meliputi penyedia jasa keuangan, PPATK, otoritas lembaga keuangan (Bank Indonesia, Bapepam dan DJLK), Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Dukungan masyarakat luas seperti individu nasabah penguna jasa keuangan, perguruan tinggi, LSM dan pers juga dirasakan sangat penting di dalam memasyarakatkan rezim anti money laundering di Indonesia. PPATK menyakini bahwa proses menuju terciptanya rezim yang efektif sangat tergantung pada peran aktif segenap elemen di atas tanpa kecuali.


Sumber : http://www.legalitas.org/content/hubungan-antara-kejahatan-peredaran-gelap-narkoba-dan-tindak-pidana-pencucian-uang

0 Responses